Minggu, 05 Mei 2013

LAPORAN KUNJUNGAN STUDI KE LOKANANTA DAN MONUMEN PERS NASIONAL



Pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2013 jurusan ilmu komunikasi UGM mengadakan kunjungan studi ke Lokananta dan Museum Pers Nasional. Kunjungan tersebut ditujukan untuk menunjang proses pembelajaran mata kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media Massa. Mahasiswa tidak hanya diajarkan materi di dalam kelas secara konseptual. Akan tetapi, mahasiswa diajak melihat secara langsung di lapangan secara kontekstual.
Lokananta dan Monumen Pers Nasional berada di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Dahulu, Solo dikenal dengan sebutan Surakarta Hadiningrat. Solo, yang terkenal dengan slogan “The Spirit of Java”, menjadi salah satu kota yang menjadi sumber atau pusat kebudayaan luhur yang menunjang kebudayaan nasional Indonesia. Di kota terdapat budaya klasik Selain untuk melakukan kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers Nasional, acara ini dapat menjadi salah satu momen untuk memperkenalkan salah satu kota kebudayaan terbesar kepada mahasiswa, khususnya yang berasal dari luar pulau Jawa.
Objek yang pertama dikunjungi rombongan adalah Lokananta. Setelah itu rombongan makan siang dan dilanjutkan kunjungan ke Monumen Pers Nasional. Dalam kunjungan tersebut mahasiswa diperkenalkan secara mendalam tentang Lokananta dan Museum Pers Nasional. Mulai dari sejarah berdirinya, perekembangannya, hingga peranannya di era sekarang. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan lebih terperinci masing-masing objek tersebut.
A.    LOKANANTA
Lokananta beralamat di Jalan Gajah Mada 29, Surakarta. Setibanya di Lokananta, rombongan di sambut oleh 4 orang pegawai Lokananta, yakni bapak Fendi (Ketua Pengurus Harian Lokananta), ibu Titik (Humas, Accounting, dan bagian administrasi lainnya), bapak Andy (koordinator studio, recording engineer), serta pak Beby (pengurus lagu-lagu Lokananta, termasuk pengurus piring hitam).
Lokananta didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956. Diresmikan oleh Menteri Penerangan R.I Soedibjo dengan nama Pabrik Piring Hitam Lokananta. Pada saat itu, Lokananta berstatus Dinas Transkripsi sebagai bagian Jawatan Radio Republik Indonesia di Surakarta. Berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia mulai 1 April 1959 hasil piringan hitam selain untuk kebutuhan Transcription siaran RRI diperkenakan juga untuk dijual kepada umum (Komersial). Status Lokananta kemudian diubah dai Jawatan menjadi Perusahaan Negara berdasar pada Peraturan Pemerintah No. 215 tahun 1961.
Nama Lokananta sendiri diambil dari cerita Legendaris dalam pewayangan. Lokananta adalah seperangkat Gamelam dari Suralaya, istana dewa-dewa di khayangan. Konon ceritanya gamelan Lokananta dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Diawal beridrinya, Lokananta meproduksi jenis-jenis rekaman musik orkes keroncong dan alat musik Jawa. Sebagai pelopor industri rekaman di Indonesia, Lokananta berhasil menghasilkan seniman-seniman besar seperti Gesang, Waldjinah, Titik Poespa, Bing Slamet, Sam Saimun, dalang Ki Narto Sabdo, pelawak Basyo, dan seniman lainnya .
Dalam perkembangannya, Lokananta pun mengalami pasang surut. Pada tahun 1990, Lokananta mengalami kelumpuhan. Hal itu dikarenakan maraknya pembajakan dan juga lahirnya industri-industri rekaman yang baru, seperti Sony, Aquarius, Trinity, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998-2000, pemasaran dihentikan. Kegiatan yang dilakukan di tahun itu hanyalah menjaga aset-aset yang dimiliki Lokananta. Sampai pada akhirnya di tahun 2001, Lokananta mengalami pailit dan dibubarkan. Pada tahun 2004 Lokananta bergabung dengan perum PNRI cabang Surakarta.
Tidak tersedianya dana khusus untuk Lokananta dari pemerintah turut menghambat kelangsungan hidup Lokananta. Salah satu cara yang ditempuh untuk mempertahankan Lokananta adalah dengan menyewakan lahan-lahan kosong di sekitar Lokananta yang digunakan untuk berdagang dan membuka lapangan futsal. Di pertengahan tahun 2012, sejumlah kelompok anak muda yang bergiat dalam gelaran subkultural, berusaha menghidupkan kembali cikal bakal industri musik di Indonesia itu.
Pada tanggal 30 November sampai 1 Desember 2012 diadakan Festival Lokananta yang digelar di Lokananta. Festival tersebut mengedepankan aspek musik dalam bermacam kemasan dengan dua panggung yang menampilkan artis nasional dari beragam genre. Festival tersebut merupakan kerjasama antara panitia penyelenggara dengan Perum Perum PNRI Cabang Lokananta Surakarta.
Hal tersebut berhasil menggugah para insan musik Indonesia melihat kondisi Lokananta saat ini. Baik musisi nasional, sperti Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, serta musisi indie regional Yogyakarta-Solo melakukan sesi rekaman di Lokananta. Momen tersebut merupakan awal kebangkitan Lokananta.
Tak hanya itu, acara-acara yang berkaitan dengan Lokananta mulai disiarkan di TV swasta. Lokananta pun perlahan mulai dikenal masyarakat Indonesia. Berbagai kunjungan ke Lokananta mengalami peningkatan.
Walaupun Lokananta berkembang ke ranah musik modern, Lokananta tetap melestarikan budaya derah. Hal itu dilakukan Lokananta dengan cara bekerjasama dengan Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang dalam menciptakan gamelan touch screen yang disebut dengan e-gamelan. Usaha tersebut diharapkan mampu memperkenalkan kaum muda agar tertarik untuk mengenal dan melestarikan musik gamelan yang diiringi dengan teknologi yang sedang berkembang sehingga kesan kuno yang melekat pada image musik gamelan tidak lagi dirasakan oleh kaum muda.

B.     MONUMEN PERS NASIONAL
Museum Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada 59 Surakarta. Setibanya di lokasi, romobongan disambut oleh 2 pegawai. Setelah perkenalan singkat mengenai museum ini, rombongan dipersilakan untuk menyaksikan video profil museum pers nasional. Seperti halnya dengan Lokananta, Monumen ini juga melewati sejarah yang cukup panjang. Gedung monumen ini menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa di masa lalu.
 Di gedung yang dulu pernah menjadi Markas Besar Palang Merah Indonesia ini, pernah diadakan konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekan Indonesia yang kemudian melahirkan organisasi profesi kewartawanan pertama, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang terbentuk pada 9 Februari 1946.
Pada peringatan dasawarasa PWI 9 Februari 1956, tercetuslah suatu gagasan mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia. Kemudian pada kongres Palembang pada tahun 1970 tercetuslah ide mendirikan “Museum Pers Nasional”. Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiardjo, menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Surakarta dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional yang dicetuskan di Palembang diubah menjadi menjadi Monumen Pers Nasional atas usul PWI cabang Surakarta.
Pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soeharto meresmikan gedung societit Sasana Soeaka (nama gedung pada awalnya) menjadi Monumen Pers Nasional dengan penandatanganan prastasi. Setelah mengalami perubahan status beberapa kali, mulai tanggal 16 Maret 2011 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatikan Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Dengan didirikannya Monumen Pers Nasional ini diharapkan dapat mewujudkan pusat rujukan dokumentasi pers nasional berbasis teknologi informasi. Untuk mewujudkannya, Monumen Pers Nasional berusaha untuk mendokumentasi, megkonservasi, bukti terbit media dan benda bersejarah lingkup pers dari seluruh Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Hal itu dilakukan dengan cara menjilidkan dan mendigitalisasikan koleksi media cetak.
Selain itu, Monumen Pers Nasional juga mengkomunikasikan dokumen dan koleksi pers nasional yang bernilai sejarah kepada khalayak umum untuk menunjang pembangunan jiwa dan kepribadian bangsa. Koleksi-koleksi bersejarah yang terdapat di monumen ini antara lain diorama perkembangan pers Indonesia (dimulai sejak era pra sejarah, era penjajahan Belanda, era penjajahan Jepang, era awal kemerdekaan, era Orde Baru, dan era reformasi),  microfilm, peralatan dan perlengkapan bertugas wartawan, portable mixer, pemancar radio kambing, kenthongan kyai swara gugah, kamera kuno, koleksi Bali Post, koleksi etnografi daerah Maluku, telephone antarstasiun, dan berbagai macam mesin ketik kuno.
Satu hal yang juga penting dari Monumen Pers Nasional adalah mewujudkan obyek kunjungan wisata ilmiah bidang pers dan menjadi agen diseminasi informasi serta sebagai media literasi bagi masyarakat. Tersedianya dokumen pers yang bersejarah, menjadikan Monumen Pers Nasional memiliki daya tarik tersendiri bagi peneliti, mahasiswa, pelajar untuk berkunjung baik untuk tujuan melihat-lihat koleksi sampai dengan riset ilmiah. Layanan gratis yang tersedia di sini pun bermacam-macam, seperti media center, papan baca, perpustakaan, mobil layanan internet, pameran yang dilakukan secara teratur, dan seminar yang terkait dengan pers, komunikasi, dan informasi.
                              Secara umum kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers Nasional memberikan manfaat bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami sejarah komunikasi dan media massa. Selain sejarah, mahasiswa juga mengenali masalah-masalah yang ada pada perkembangan komunikasi dan media massa. Sebagai contoh, masalah status pegawai Lokananta, sumber dana Lokananta, ide pendirian museum musik di Indonesia di Solo, hingga kerugian pembajakan. Mahasiswa sebagai agen perubahan yang diharapkan mampu memecahkan masalah, haruslah peduli dengan hal tersebut. Dalam hal ini, mahasiswa ilmu komunikasi UGM haruslah kritis dan tergerak untuk turun tangan dalam menangani masalah tersebut ataupun masalah –masalah lain yang ada.          Jika UDINUS sudah diajak bekerjasama untuk mengembangkan e-gamelan, barangkali mahasiswa ilmu Komunikasi UGM bisa dilirik Lokananta untuk bekerjasama dalam hal pemasaran, misalnya.
            Lokananta dan Museum Pers Nasional menyimpan salah satu sejarah besar bangsa ini. Oleh karenanya, Kedua objek tersebut perlu dikenal secara nasional dan internasional. Harapannya pemerintah peduli dan mengambil tindakan untuk mempromosikannya. Berbagai cara bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan menyertakan Lokananta dan Museum Pers Nasional dalam program wisata, seperti Visit Java, Visit Indonesia, dan program wisata lainnya.














Jumat, 30 November 2012

JALAN HIDUP TAK PERNAH BISA DITEBAK #BridgingCourse13


JALAN HIDUP TAK PERNAH BISA DITEBAK

Judul Film                   : Run Lola Run
Sutradara                     : Tom Tykwer
Tahun Produksi           : 1998
Tom Tykwer, dalam filmnya yang berjudul Run Lola Run berhasil menawarkan alur cerita yang tidak biasa. Tykwer berusaha untuk mengemas alur yang sederhana tapi penuh dengan kejutan. Bahkan, Tykwer memberikan kebebasan kepada penonton untuk menginterpretasikan ending dari film ini.
            Run Lola Run menceritakan tentang perjuangan sepasang kekasih untuk mendapatkan kembali uang senilai 100 ribu marks. Kecerobohan Manni (Moritz Bleibtreu) menyebabkan Lola (Frank Potente), ikut terseret dalam kesulitan Manni. Dalam waktu 20 menit, Lola harus mendapatkan uang seniali 100 ribu marks demi menyelamatkan kekasihnya.
            Kesederhanaan alur cerita ini ditampilkan lewat perjuangan Lola yang terus berlari dalam usahanya mengumpulkan uang. Dalam perjalanannya, Lola menemui berbagai kejadian yang tak terduga. Tykwer membuat adegan Lola berlari ke dalam 3 alur yang berbeda. Masing-masing alur tersebut tidak bisa ditebak. Oleh karenanya, film ini disebut penuh dengan kejutan.
            Sebagian orang mungkin akan kebingungan di awal cerita film ini. Pasalnya, cerita diulang-ulang lagi ke adegan awal pada saat Lola menutup telepon dan kemudian berlalri sampai 3 kali. Akan tetapi, kebingungan itu tergantikan dengan kekaguman akan kemampuan Frank Potente dalam memerankan Lola.
            Film yang diproduksi tahun 1998 ini merupakan film yang patut diacungi jempol. Di Indonesia sendiri, film semacam Run Lola Run masih sangat jarang diproduksi. Walaupun demikian, film ini memiliki beberapa kekurangan. Musik latar dalam adegan Manni saat menelpon Lola dirasa kurang cocok. Dalam keadaan genting seharusnya latar musik bukanlah semacam musik dengan beat disco.
Sisipan animasi yang sangat singkat juga menjadikan keindahan film ini berkurang. kepanikan Lola pada saat menuruni tangga menjadi tidak terlihat. Akan lebih baik jika sisipan animasi tersebut dihilangkan.
Run Lola Run adalah film yang memiliki keunikan tersendiri. Disamping alur cerita dan kemampuan aktor dan aktrisnya yang baik, film ini juga memiliki pesan moral yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Melalui film ini Tykwer berpesan bahwa manusia bisa saja merencanakan hal-hal yang akan dicapai dalam hidupnya. Dalam perjalanan untuk mencapainya banyak hal tak terduga yang akan kita lalui. Pada dasarnya, Tuhanlah yang lebih berhak mengatur semua itu.

Sabtu, 24 November 2012

DIAN ADALAH LAMPU TEPLOK #BRIDGINGCOURSE12


Ada pepatah bijak mengatakan bahwa nama adalah sebuah doa. Ada pula yang mengatakan nama itu hanyalah sebagai penanda. Tak hanya itu, ada yang memaknai nama sebagai pengingat, baik itu pengingat tentang pribadi seseorang, maupun pengingat tentang suatu peristiwa. Setiap bayi yang lahir di dunia ini pasti memiliki nama. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya apabila seluruh manusia di dunia tidak memiliki nama.
Ketika saya lahir dan ternyata perempuan, orang tua saya memberi nama kepada putri sulungnya Dian Indri Cahyani. Nama tersebut memang sederhana, tetapi sarat makna. Dian Indri Cahyani terdiri dari 3 kata. Masing-masing dari kata tersebut memiliki makna tersendiri dan saling berhubungan.
            Menurut cerita dari orang tua saya, makna dari kata “Dian” adalah lampu teplok/lampu sentir (bahasa jawa). Jika ditranslate ke dalam bahasa Indonesia adalah alat untuk menerangi (sesuatu) atau (lampu) kecil dengan bahan bakar minyak atau pelita. Kata kedua, yakni Indri diambil dari nama almarhum kakek saya, Sinoendrijo (baca: Sinundriyo). Kata terakhir, yakni Cahyani, memiliki arti Cahaya. Jika ketiga makna tersebut digabungkan, arti nama lengkap saya adalah cucu Sinoendrijo yang bercahaya dan menerangi. Saya tersentak ketika mengetahui arti nama lengkap saya. Tak perlu ditanyakan lagi bahwa orang tua saya menaruh harapan yang sangat besar kepada putri sulungnya.
            Seperti yang telah disebutkan di atas, makna “Dian” menurut orang tua saya adalah lampu teplok/lampu sentir. Lampu telpok identik dengan masyarakat tradisional zaman dahulu. Lampu teplok merupakan pelita dikala gelap. Dahulu, sebelum listrik masuk ke rumah-rumah, orang menggunakan lampu teplok. Lampu teplok, selain namanya yang unik juga memiliki filosofi yang mendalam.
            Lampu teplok adalah lampu minyak tanah yang bagian utamanya terdiri dari tampungan minyak tanah, sumbu, dan semprong yang terbuat dari kaca. Sumbunya adalah bagian yang memancarkan api, dimana sumbu berhubungan langsung dengan minyak tanah dan menyerapnya pelan untuk terus menyala. Supaya nyala lampu stabil, maka digunakan pelindung atau tudung lampu berlubang di bagian atas yang disebut semprong. Lampu akan terus menyala sampai minyak tanah yang ada di tampungan terserap habis. Setelah digunakan, semprong lampu teplok selalu kotor oleh asap. Terdapat bercak dan bahkan area berwarna hitam pada semprong. Akan tetapi, lampu telpok akan bersih kembali apabila bagian semprongnya dilap. Setelah dibersihkan lampu teplok bisa digunakan lagi.
            Sampai saat ini penemu lampu teplok belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, saya tidak terlalu memikirkan hal itu. Hal terpenting bagi saya adalah orang tua saya berharap saya tumbuh menjadi pribadi seperti lampu teplok. Bentuk dan cara kerja lampu teplok menggambarkan bahwa saya harus menjadi manusia sederhana yang berguna bagi lingkungan sekitar dan sesama. Mampu menjadi penerang saat gelap melanda.
            Menjadi manusia yang berguna tentunya memerlukan perjuangan yang cukup besar. Dalam setiap perjuangan selalu ada pengorbanan yang identik dengan luka. Asap hitam yang muncul pada saat lampu teplok bekerja merupakan gambaran dari pengorbanan dan luka tersebut. Apabila asap hitam yang menempel pada semprong sudah dibersihkan, lampu teplok dapat digunakan kembali. Sebagai pribadi yang diharapkan seperti lampu teplok, saya harus ikhlas menghadapi semua luka yang mewarnai setiap perjuangan saya. Dengan sikap yang demikian, saya akan selalu bersinar menerangi kegelapan. 

Jumat, 16 November 2012

Melompat Lebih Tinggi


Bersama kita melompat lebih tinggi


Sabtu, 10 November 2012

MUSIK FILM DI INDONESIA BELUM DIANGGAP PENTING #bRIGINGcOURSE11



            Sebagian besar masyarakat Indonesia memilih menonton film sebagai hobi mereka. Mulai dari film pendek maupun film panjang (film besar). Dalam kehidupan sehari-hari film dijadikan sebagai media hiburan, edukasi, maupun penelitian. Fim sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
            Salah satu kelemahan hobi menonton film dari masayarakat Indonesia adalah tidak semua orang tahu bahwa membuat film adalah sebuah proses yang sangat panjang. Dalam proses tersebut, tidak hanya aktor dan aktris saja yang terlibat. Biasanya orang hanya mengetahui nama sutradara sebuah film. Padahal sesungguhnya film adalah karya bersama, artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memang pemimpin dari suatu kelompok yang terdiri dari berbagai seniman dan teknisi. Akan tetapi, dalam proses kerja sutradara tidak bisa menghindar dari mengakomodasikan sumbangan berbagai pihak.[1]       Mereka bekerjasama untuk mencapai kesuksesan sebuah film dilihat dari berbagai segi.
Film adalah sebuah karya seni serta media komunikasi yang memiliki banyak parameter. Indikator untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan film tidak hanya terletak pada hal yang terlihat di layar kaca. Berbagai indikator yang tak terlihat di layar kaca pun turut serta menentukan berhasil dan atau sukses tidaknya sebuah film.
            Dibandingkan dengan media yang lain, film menjadi media yang paling berpengaruh. Hal tersebut dikarenakan audio dan visual bekerjasama dengan baik dalam film. Film menjadi media yang mudah diingat dan tidak membosankan.
            Disamping visual (gambar), audio (sura) merupakan komponen yang penting dalam film. Audio dalam film dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yakni audio dialog, audio musik, dan audio efek suara.[2] Bagian audio tersebut dikerjakan oleh dua profesi, yaitu penata suara dan penata musik. Penata Suara, sering disebut dengan Sound Designer/Supervisor bekerja dengan dibantu oleh Sound Recorder. Sound Designer bertugas menyunting suara dan menciptakan efek suara yang diciptakan dalam setiap adegan. Sedangkan Penata Musik, yang sering disebut Music Composer/Ilustrartor bertugas untuk menciptakan sebuah komposisi musik sebagai bagian dari penceritaan sebuah film.[3] Keduanya saling bahu membahu dalam menciptakan film scoring atau musik yang digunakan dalam sebuah film.
            Berbicara soal audio perfilman, musik dan film memang seakan tak bisa dipisahkan. Bahkan tidak sedikit film yang sangat dikenal, justru karena ilustrasi musiknya. Film seperti “Flashdance”, “Saturday Night Fever”, atau “Badai Pasti Berlalu” merupakan beberapa contoh film yang lebih diminati karena lagu dan ilustrasi musiknya yang enak didengar.[4]
            Harus diakui, musik dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia.[5] Dalam dunia perfilman, fungsi musik tidak lain adalah untuk mempertegas sebuah adegan agar lebih kuat maknanya. Bayangkan saja, ketika dalam sebuah film muncul adegan seorang wanita sedang menatap keluar jendela, banyak interpretasi tentangnya. Akan tetapi, ketika dibarengi dengan suara gesekan biola, dapat dipastikan bahwa adegan itu menggambarkan kesedihan si wanita. Jean Luc, seorang film director menyatakan “Sound is 60 percent of cinema.”[6]
Ada hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua suara yang ada dalam film, kecuali dialog, dikategorikan sebagai musik. Apabila musik dimaksudkan sekedar sebagai latar belakang, maka musik tersebut masuk dalam kategori elmen efek suara.[7] Misalnya, sebuah adegan di sebuah pesta perkwinan. Suara musik dalam pesta tersebut merupakan efek suara dan bukan musik.
            Di Indonesia dunia perfilman berkembang pesat. Film semakin mudah dijangkau bagi siapapun yang menggelutinya seiring dengan berkembangnya teknologi. Sayangnya, perfilman di Indonesia hanya menitikberatkan pada visual atau gambarnya saja. Audio (suara) masih dianggap belum penting dalam perfilman Indonesia. Padahal, audio membawa efek sinestisia (efek bius) yang lebih kuat dibandingkan dengan visual (gambar).
            Pesatnya perkembangan film Indonesia, bukan berarti menandakan tingginya kualitas musik film Indonesia. Music composing di Indonesia sendiri bisa dikatakan masih belum maksimal, terutama dalam music illustration (ilustrasi musik). Ada tiga foktor yang utama yang mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa sesungguhnya musik belum dianggap cukup penting oleh sebagian besar kalangan perfilman di Indonesia. Ketiga faktor tersebut dapat dilihat dari kecenderungan cara kerja para produser dan sutradara dalam memandang musik dalam karya-karya mereka, kecenderungan para penata musik dalam kerja film mereka, maupun posisi musik itu sendiri dalam film di Indonesia.[8]
            Penting tidaknya posisi musik dalam sebuah film, tidak cukup dikur dari ada dan tidaknya keikutsertaan musik dalam film tersebut. Akan tetapi, harus dilihat dari posisi dan bagaimana musik itu diletakkan dalam sebuah film. Dengan demikian, sebuah citra, Piala Citra Musik dalam Festival Film di Indonesia benar-benar mewakili etos kerja kreatif dunia musik perfilman di Indonesia.
            Dari 85 cerita panjang yang diikutsertakan dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2004, sebanyak 21 film sama sekali tidak menggunakan garapan “musik riil” yang khusus dibuat untuk film tersebut sebagai faktor penunjang. Artinya, para produser dan sutradara dari 21 film tersebut tidak menggunakan music composer dalam karya-karya mereka. Hal tersebut merupakan indikasi pertama bahwa musik belum dianggap penting oleh beberapa produser dan sutradara film di Indonesia.[9]
            Fakta tersebut menunjukkan masih adanya pandangan, bahwa seolah-olah musik untuk film dapat diambil dari bahan rekaman (stok recording). Hal tersebut merupakan warisan pandangan lama pada zama film bisu, dimana fungsi musik hanyalah sebagai ilustrasi gerak-gerak gambar yang tak bersuara. Pandangan yang menganggap bahwa musik sekedar ilustrasi yang dapat diambil dari rekaman musik umum (diskografi) dianggap sudah kuno.
            Sesungguhnya, prinsip musik film tidak berbeda dengan prinsip-prinsip fotografi, editing, dialog, dalam sebuah film yang bersifat sesaat (einmalig). Musik film tidak berdiri sendiri sebagaimana musik “murni”, tetapi terikat dan tergantung oleh banyak faktor dari unsur-unsur film lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan modern dunia perfilman, setiap film harus dibuatkan musik khusus. Tidak lain dikarena musik tidak lagi sebagai ilustrator, melainkan bagian integral dalam sebuah film.
             Pada umumnya, para penata musik Indonesia mengikuti arus musik yang populer di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah pemain band, para penulis lagu (song writer), dan para aranjer (arranger) atau penata musik. Kenyataan tersebut merupakan hal yang biasa dalam perfilman Indonesia. Berbeda dengan para sutradara, fotografer, penata suara, dan aktor maupun aktris yang memang benar-benar bekerja untuk sebuah film, para penata musik Indonesia bukanlah orang yang benar-benar mau masuk ke dalam dunia musik film dari dunia musik mereka yang sesungguhnya. Bisa dikatakan Indonesia hanya memiliki beberapa orang yang benar-benar bisa dikategorikan sabagai komponis musik untuk film, salah satunya adalah M. Sardi dan anaknya, Idris Sardi.
            Sejarah ilustrasi musik film, niscaya tidak akan ketinggalan menyebut nama M. Sardi. Ketika ditawari untuk menangani ilustrasi musik film “Alang-Alang”, kesempatan itu tidak disia-siakanya. M. Sardi menjadi musikus pertama Indonesia yang memilih profesi sebagai penata musik film pada tahun 1939.[10] Begitu juga dengan Idris Sardi, putra dari M. Sardi adalah pemegang rekor terbanyak dalam meraih “Citra” selama 20 kali FFI yang diselenggarakan tahun 1973-1992.[11] Idris Sardi dianggap sebagai komposer musik film bukan dilihat dari jumlah musik film yang pernah dikerjakannya. Akan tetapi, dilihat dari kualitas dan totalitas yang telah ia korbankan dalam menggeluti bidangnya.
            Dunia musik film merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengabdian sepenuhnya secara khusus. Pekerjaan untuk membuat musik film bukanlah pekerjaan sampingan yang dikerjakan setengah-setangah seperti dunia musik film Indonesia saat ini. Pembuatan musik film tidak mungkin maksimal apabila dibatasi oleh modal materi dan waktu. Akan tetapi, pada kenyataannya bahwa hanya tersedia alokasi waktu antara 3 sampai 10 hari dan dana antara 3 juta rupiah sampai 7 juta bagi seorang penata musik untuk mengerjakan karya filmnya.[12] Keterbatasan dana dan waktu tentu saja menghambat para penata musik untuk mengerjakan karyanya secara maksimal.
            Berbicara mengenai modal materi, pengambilan instrumentarium merupakan hal yang patut dibicarakan. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bahwa penata musik Indonesia meninggalkan instrumentarium akustik tradisional. Mereka lebih memilih menggunakan instrumentarium elektrik, baik yang bersifat manual maupun yang bersifat komputerisasi.
            Jika ditelaah lebih jauh, penggunaan insrumentarium elektrik akan mereduksi jumlah penata musik dalam menggunakan studio rekaman musik film.[13] Tidak hanya itu, jejak sejarah pembuatan karya musik film dengan instrumentarium tradisional yang telah dirintis oleh M. Sardi, juga akan hilang begitu saja. Walaupun demikian, masih ada beberapa nama seperti Thamam Husein, Dameria Hutabarat dan lain-lain yang mampu diharapkan dalam dunia musik film Indonesia.
            Seperti yang telah kita ketahui, bahwa dalam industri perfilman modern, film bukan lagi sebagai ilustrator belaka. Akan tetapi, musik menjadi bagian yang terintergrasi dalam sebuah film. Profesi penata musik di Indonesia harus direkonstruksi. Pemikiran mengenai musik film juga harus dikembangkan. Harus disadari bahwa sesungguhnya Indonesia kaya akan berbagai jenis musik dan instrumentarium daerah yang dapat dijadikan sumber inspirasi musik film yang akan melipatgandakan dua tiga kali efek gambar-gambar yang disajikan di atas layar. Dengan demikian, musik film Indonesia memiliki karakterisitik tersendiri yang mampu menciptakan emosi tertentu bagi penontonnya.
           
           
           
           



[1] Salim Said, 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h. 29.
[2] Heru Effendy. 2002. Mari Membuat Film: panduan menjadi produser. Jakarta: Panduan dan Pustaka Konfiden.h 93.
[3] http://old.rumahfilm.org/artikel/artikel_sounddesign.htm Diakses pada 27 Oktober 2012 pukul 23:30 WIB.
[4] Eddy D. Iskandar. 1987. Mengenal Perfilman Nasional. Bandung: CV Rosada. h. 71.
[5] Deddy Mulyana. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 25.
[6] Bryan McKernan. 2005. Digital Cinema: The Revolution ini Cinematography, Postproduction, and Distribution. New York: McGraw-Hill H 109.
[7] Eddy D. Iskandar, Op.Cit h. 95.
[8] Suka Harjana. 2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. h. 274.
[9] Ibid. h. 275.
[10] Eddy D. Iskandar.Op.Cit. h. 71-72.
[11] S.M. Ardan. 2004. Setengah Abad Festival Film Indonesia. Jakarta: Panitia Festival Film Indonesia 2004. h. 133-134.
[12] Suka Harjana. Op.Cit. h. 276.
[13] Ibid. h. 279-280.

Sabtu, 27 Oktober 2012

PEMBURU BUKTI RAMALAN KIAMAT #bRIGINGcOURSE10




            Tahun 2009 Indonesia dan bahkan dunia telah dihebohkan dengan adanya film berjudul “2012”. Film ini dirilis oleh Coloumbia Pictures. Ramalan Suku Maya tentang kiamat 2012 dipresentasikan melalui film yang menceritakan berakhirnya dunia dan musnahnya kehidupan.
            Film “2012” berhasil menarik perhatian dunia. Masyarakat dari berbagai kalangan ramai membicarakan film ini dan ramalan suku maya. Terkadang di tengah pembicaraan mereka muncul pernyataan seperti “wah, ngeri ya. Setahun lagi kiamat!” Tak jarang juga timbul gelitikan-gelitikan “sudah, tak usah lagi memikirkan masa depan. kiamat kan sudah dekat.”
            Pembicaraan tentang ramalan Suku Maya tak hanya berhenti sampai disitu. Pro dan kontra turut meramaikan keberadaan ramalan Suku Maya. Seiring dengan timbulnya pro dan kontra, beberapa ilmuwan melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran ramalan ini.
            “2012, The Final Prophecy” adalah sebuah pencerahan yang muncul ditengah kekhawatiran masyarakat akan ramalan kiamat 2012. Pencerahan ini disajikan melalui sebuah film dokumenter ilmiah yang menceritakan tentang penelitian seorang ilmuwan dalam mencari bukti-bukti ramalam Suku Maya. Film yang dirilis oleh National Geographic mengubah paradigma akan ketakutan kiamat menjadi kekaguman terhadap peradaban kuno Suku Maya yang sangat tinggi.
            Film dokumenter ini menceritakan perjalanan Adam Maloof, seorang Geologist dari Princenton University, yang melakukan perjalanan untuk mencari bukti-bukti ramalan suku Maya. Adam Maloof mengungkapkan bahwa hasil penelitian dan hasil wawancara dengan Suku Maya menggambarkan bahwa Suku Maya memiliki peradaban yang luar biasa. Suku Maya memiliki kebudayaan tinggi ditandai dengan adanya tulisan paling dini yang dituliskan di batu ukir. Selain kebudayaan, Suku Maya juga memiliki intelektualitas tinggi. Suku Maya mampu membangun bangunan besar nan kokoh. Sedangkan dalam bidang pengetahuan, Suku Maya berhasil membuat kalender astronomi, prediksi hujan, dan lain sebagainya.[1]
Perjalanan Maloof dilakukan dengan mengumpulkan bukti-bukti dari tiga benua berupa batu-batu catatan sejarah di Mexico.       Di Mexico, dia mengunjungi tempat tinggal suku Maya dan mengumpulkan catatan sejarah. Di Australia, ia menemukan sebuah batu yang cukup tua.[2] Selain mengumpulkan bukti, Maloof melakukan wawancara dengan keturunan Suku Maya, yakni Mary Coba Cupul.
Batu yang ia temukan pun memperkuat teorinya tentang adanya pergeseran benua. Barang bukti yang ia dapat, teorinya  dan catatan sejarah tentang suku Maya pun ia kaitkan. Berdasarkan film, apa yang ia teliti serta proses perumusannya tampaknya belum menemui titik akhir dan masih akan berlanjut.

            Inti dari film dokumenter ini adalah  bahwa Suku Maya tidak meramalkan bahwa akan terjadi kiamat di tahun 2012. Akan tetapi, yang terjadi di tahun 2012 adalah terjadinya proses penciptaan ulang dunia ini. Seperti yang telah dijelaskan dalam film bahwa Suku Maya memandang dunia sebagai sebuah siklus, berawal dan berakhir secara berkala. Pergantian siklus ditandai dengan adanya bencana yang menggeserkan letak benua-benua yang ada di dunia ini. Jadi, dunia tidak akan benar-benar berakhir pada 21         Desember 2012.
            Awalnya penulis tidak peduli akan ramalan Suku Maya. Akan tetapi, setelah menonton film ini, penulis tertarik untuk membahas ramalan kiamat pada 2012. Penulis percaya bahwa film 2012 The Final Prophecy bukan sebuah khayalan semata. Hal tersbeut dikarenakan adanya bukti-bukti dan fakta-fakta yang kuat dalam film ini. Penelitian Adam Maloof telah membuka pikiran bahwa dunia tidak akan berakhir di tahun 2012. Tidak hanya penelitian Adam Maloof, bebrapa referensi baru telah ditemukan bahwa kiamat tidak tejadi di tahun 2012.[3]
           

















DAFTAR PUSTAKA
Diakses dari http://blog.isi-dps.ac.id/liasusanthi/empty-talk pada 24 Oktober 2012 pukul 04:50 WIB.
Diakses dari http://sebongkahbatu96.blogspot.com/2011/10/sesuatu-yang-mendesak.html pada 24 Oktober 2012 pukul 05:01 WIB.
2012. 2009. Coloumbia Pictures :
2012, The Final Prophecy. 2012. National Geographic





[1] Diakses dari http://blog.isi-dps.ac.id/liasusanthi/empty-talk pada 24 Oktober 2012 pukul 04:50 WIB.
[2] Diakses dari http://sebongkahbatu96.blogspot.com/2011/10/sesuatu-yang-mendesak.html pada 24 Oktober 2012 pukul 05:01 WIB.

Sabtu, 20 Oktober 2012

REVOLUSI JURNALISME #BridgingCourse09



            Jurnalisme adalah sebuah kata yang tidak lagi asing ditelinga masyarakat kita. Ketika seseorang melontarkan sebuah pertanyaan yang berbunyi “apa yang kamu pikirkan tentang jurnalisme?”, sebagian besar orang memberikan jawaban seperti “berita, tulisan, koran, serius, dan wartawan”.[1] Mereka berfikir bahwa jurnalisme itu masih terpaku pada media cetak yang sampai sekarang masih cukup kuat eksistensinya, yakni koran. Mereka belum menyadari bahwa jurnalisme itu telah mengalami banyak perubahan.
            Perkembangan teknologi dan kemajuan jaman berdampak pada perkembangan jurnalisme. Dari yang semula konvensional dan rigid, menjadi modern dan fleksibel. Revolusi jurnalisme terjadi tanpa mengubah fungsi dan makna jurnalisme itu sendiri.
            Jurnalisme pada masa lampau dan masa sekarang tentu berbeda. Jurnalisme memiliki ciri tersendiri dari masa ke masa. Berikut ini adalah perbandingan jurnaslisme masa lampau dan masa sekarang.[2]
HAL
MASA LAMPAU
MASA SEKARANG
Media
Buku, majalah,koran
Buku, majalah, koran, internet,
Publikasi
Siapa kita menentukan publikasi
Siapa saja bisa publikasi
Editor
Selalu ada campur tangan editor
Tidak ada campur tangan, kecuali majalah, buku, dan koran
Bahasa
Tergantung editor
Bebas
Konten
Tergantung editor
Bebas
Tabel perbandingan jurnalistik masa lampau dengan masa sekarang

                Tabel diatas memberikan perbandingan revolusi jurnalisme dari mas ke masa. Hal yang diperbandingkan terbagi menjadi lima poin, yaiutu media, publikasi, editor, bahasa, dan konten.
            Media dalam jurnalisme masa lampau masih sangat kuat eskistensinya pada jurnalisme masa kini. Hanya saja jurnalisme masa sekarang telah mengenal internet. Media elektronik yang terbilang baru ini mulai dikenal masyarakat kita pada awal tahun 1990.[3] Internet memberi dampak yang sangat besar terhadap revolusi jurnalisme. Sistem informasi dan komunikasi melalui internet berjalan dengan sangat cepat dan mudah.
            Dengan adanya internet, memudahkan setiap orang menjadi bagian dari jurnalisme. Setiap orang berhak mempublikasikan karyanya dalam internet. Entah melalui blog, jejaring sosial seperti twitter, facebook, yahoo Messenger dan lain sebagainya. Berbeda dengan masa lampau, publikasi sangat ditentukan oleh siapa kita. Status dan latar belakang seseorang menentukan publikasi sebuah karya. Orang yang mendapat peran dalam jurnalisme harus orang-orang penting dengan latar belakang, terutama pendidikan yang tinggi.
            Jurnalisme masa lampau selalu mendapat campur tangan dari editor. Orang yang akan mempublikasikan karyanya ke dalam koran, majalah, buku selalu berhadapan dengan editor. Akibatnya, bahasa dalam karya tersebut juga tergantung pada editor. Konten dalam karya tersebut otomatis juga tergantung pada editor.
            Internet telah memudahkan orang untuk mempublikasikan karyanya. Melalui jejaring soial, blog orang bebas secara penuh dari pihak luar. Tidak ada editor di sana. Bahasa dan konten pun sesuai dengan keinginan kita.
            Revolusi jurnalisme tidak hanya melalui internet. Teknologi yang semakin canggih seperti kamera juga turut mewarnai revolusi jurnalisme. Dewasa ini penggunaan kamera di masyarakat semakin marak. Dari anak-anak hingga orang dewasa semakin menggandrungi dunia fotografer. Melalui foto sesorang menjadi bagian dari jurnalisme karena foto menjadi salah satu cara untuk memberikan informasi.
            Dengan terjadinya revolusi jurnalisme, jurnalisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.



[1] Hasil dari talk show antara narasumber dengan peserta seminar dalam acara JOURNALIGHT: INSPIRING JOURNALISM pada 20 Oktober 2012 di Pertamina Tower FEB UGM.
[2] Presentasi dari Margareta Astaman dalam acara seperti yang tercantum pada nomor satu. Model tabel telah diedit oleh penulis.
[3] Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Internet_Indonesia pada 20 Oktober 2012 pukul 14:59 WIB.