Jumat, 30 November 2012

JALAN HIDUP TAK PERNAH BISA DITEBAK #BridgingCourse13


JALAN HIDUP TAK PERNAH BISA DITEBAK

Judul Film                   : Run Lola Run
Sutradara                     : Tom Tykwer
Tahun Produksi           : 1998
Tom Tykwer, dalam filmnya yang berjudul Run Lola Run berhasil menawarkan alur cerita yang tidak biasa. Tykwer berusaha untuk mengemas alur yang sederhana tapi penuh dengan kejutan. Bahkan, Tykwer memberikan kebebasan kepada penonton untuk menginterpretasikan ending dari film ini.
            Run Lola Run menceritakan tentang perjuangan sepasang kekasih untuk mendapatkan kembali uang senilai 100 ribu marks. Kecerobohan Manni (Moritz Bleibtreu) menyebabkan Lola (Frank Potente), ikut terseret dalam kesulitan Manni. Dalam waktu 20 menit, Lola harus mendapatkan uang seniali 100 ribu marks demi menyelamatkan kekasihnya.
            Kesederhanaan alur cerita ini ditampilkan lewat perjuangan Lola yang terus berlari dalam usahanya mengumpulkan uang. Dalam perjalanannya, Lola menemui berbagai kejadian yang tak terduga. Tykwer membuat adegan Lola berlari ke dalam 3 alur yang berbeda. Masing-masing alur tersebut tidak bisa ditebak. Oleh karenanya, film ini disebut penuh dengan kejutan.
            Sebagian orang mungkin akan kebingungan di awal cerita film ini. Pasalnya, cerita diulang-ulang lagi ke adegan awal pada saat Lola menutup telepon dan kemudian berlalri sampai 3 kali. Akan tetapi, kebingungan itu tergantikan dengan kekaguman akan kemampuan Frank Potente dalam memerankan Lola.
            Film yang diproduksi tahun 1998 ini merupakan film yang patut diacungi jempol. Di Indonesia sendiri, film semacam Run Lola Run masih sangat jarang diproduksi. Walaupun demikian, film ini memiliki beberapa kekurangan. Musik latar dalam adegan Manni saat menelpon Lola dirasa kurang cocok. Dalam keadaan genting seharusnya latar musik bukanlah semacam musik dengan beat disco.
Sisipan animasi yang sangat singkat juga menjadikan keindahan film ini berkurang. kepanikan Lola pada saat menuruni tangga menjadi tidak terlihat. Akan lebih baik jika sisipan animasi tersebut dihilangkan.
Run Lola Run adalah film yang memiliki keunikan tersendiri. Disamping alur cerita dan kemampuan aktor dan aktrisnya yang baik, film ini juga memiliki pesan moral yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Melalui film ini Tykwer berpesan bahwa manusia bisa saja merencanakan hal-hal yang akan dicapai dalam hidupnya. Dalam perjalanan untuk mencapainya banyak hal tak terduga yang akan kita lalui. Pada dasarnya, Tuhanlah yang lebih berhak mengatur semua itu.

Sabtu, 24 November 2012

DIAN ADALAH LAMPU TEPLOK #BRIDGINGCOURSE12


Ada pepatah bijak mengatakan bahwa nama adalah sebuah doa. Ada pula yang mengatakan nama itu hanyalah sebagai penanda. Tak hanya itu, ada yang memaknai nama sebagai pengingat, baik itu pengingat tentang pribadi seseorang, maupun pengingat tentang suatu peristiwa. Setiap bayi yang lahir di dunia ini pasti memiliki nama. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya apabila seluruh manusia di dunia tidak memiliki nama.
Ketika saya lahir dan ternyata perempuan, orang tua saya memberi nama kepada putri sulungnya Dian Indri Cahyani. Nama tersebut memang sederhana, tetapi sarat makna. Dian Indri Cahyani terdiri dari 3 kata. Masing-masing dari kata tersebut memiliki makna tersendiri dan saling berhubungan.
            Menurut cerita dari orang tua saya, makna dari kata “Dian” adalah lampu teplok/lampu sentir (bahasa jawa). Jika ditranslate ke dalam bahasa Indonesia adalah alat untuk menerangi (sesuatu) atau (lampu) kecil dengan bahan bakar minyak atau pelita. Kata kedua, yakni Indri diambil dari nama almarhum kakek saya, Sinoendrijo (baca: Sinundriyo). Kata terakhir, yakni Cahyani, memiliki arti Cahaya. Jika ketiga makna tersebut digabungkan, arti nama lengkap saya adalah cucu Sinoendrijo yang bercahaya dan menerangi. Saya tersentak ketika mengetahui arti nama lengkap saya. Tak perlu ditanyakan lagi bahwa orang tua saya menaruh harapan yang sangat besar kepada putri sulungnya.
            Seperti yang telah disebutkan di atas, makna “Dian” menurut orang tua saya adalah lampu teplok/lampu sentir. Lampu telpok identik dengan masyarakat tradisional zaman dahulu. Lampu teplok merupakan pelita dikala gelap. Dahulu, sebelum listrik masuk ke rumah-rumah, orang menggunakan lampu teplok. Lampu teplok, selain namanya yang unik juga memiliki filosofi yang mendalam.
            Lampu teplok adalah lampu minyak tanah yang bagian utamanya terdiri dari tampungan minyak tanah, sumbu, dan semprong yang terbuat dari kaca. Sumbunya adalah bagian yang memancarkan api, dimana sumbu berhubungan langsung dengan minyak tanah dan menyerapnya pelan untuk terus menyala. Supaya nyala lampu stabil, maka digunakan pelindung atau tudung lampu berlubang di bagian atas yang disebut semprong. Lampu akan terus menyala sampai minyak tanah yang ada di tampungan terserap habis. Setelah digunakan, semprong lampu teplok selalu kotor oleh asap. Terdapat bercak dan bahkan area berwarna hitam pada semprong. Akan tetapi, lampu telpok akan bersih kembali apabila bagian semprongnya dilap. Setelah dibersihkan lampu teplok bisa digunakan lagi.
            Sampai saat ini penemu lampu teplok belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, saya tidak terlalu memikirkan hal itu. Hal terpenting bagi saya adalah orang tua saya berharap saya tumbuh menjadi pribadi seperti lampu teplok. Bentuk dan cara kerja lampu teplok menggambarkan bahwa saya harus menjadi manusia sederhana yang berguna bagi lingkungan sekitar dan sesama. Mampu menjadi penerang saat gelap melanda.
            Menjadi manusia yang berguna tentunya memerlukan perjuangan yang cukup besar. Dalam setiap perjuangan selalu ada pengorbanan yang identik dengan luka. Asap hitam yang muncul pada saat lampu teplok bekerja merupakan gambaran dari pengorbanan dan luka tersebut. Apabila asap hitam yang menempel pada semprong sudah dibersihkan, lampu teplok dapat digunakan kembali. Sebagai pribadi yang diharapkan seperti lampu teplok, saya harus ikhlas menghadapi semua luka yang mewarnai setiap perjuangan saya. Dengan sikap yang demikian, saya akan selalu bersinar menerangi kegelapan. 

Jumat, 16 November 2012

Melompat Lebih Tinggi


Bersama kita melompat lebih tinggi


Sabtu, 10 November 2012

MUSIK FILM DI INDONESIA BELUM DIANGGAP PENTING #bRIGINGcOURSE11



            Sebagian besar masyarakat Indonesia memilih menonton film sebagai hobi mereka. Mulai dari film pendek maupun film panjang (film besar). Dalam kehidupan sehari-hari film dijadikan sebagai media hiburan, edukasi, maupun penelitian. Fim sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.
            Salah satu kelemahan hobi menonton film dari masayarakat Indonesia adalah tidak semua orang tahu bahwa membuat film adalah sebuah proses yang sangat panjang. Dalam proses tersebut, tidak hanya aktor dan aktris saja yang terlibat. Biasanya orang hanya mengetahui nama sutradara sebuah film. Padahal sesungguhnya film adalah karya bersama, artinya, dalam proses pembuatan film, sutradara memang pemimpin dari suatu kelompok yang terdiri dari berbagai seniman dan teknisi. Akan tetapi, dalam proses kerja sutradara tidak bisa menghindar dari mengakomodasikan sumbangan berbagai pihak.[1]       Mereka bekerjasama untuk mencapai kesuksesan sebuah film dilihat dari berbagai segi.
Film adalah sebuah karya seni serta media komunikasi yang memiliki banyak parameter. Indikator untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan film tidak hanya terletak pada hal yang terlihat di layar kaca. Berbagai indikator yang tak terlihat di layar kaca pun turut serta menentukan berhasil dan atau sukses tidaknya sebuah film.
            Dibandingkan dengan media yang lain, film menjadi media yang paling berpengaruh. Hal tersebut dikarenakan audio dan visual bekerjasama dengan baik dalam film. Film menjadi media yang mudah diingat dan tidak membosankan.
            Disamping visual (gambar), audio (sura) merupakan komponen yang penting dalam film. Audio dalam film dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yakni audio dialog, audio musik, dan audio efek suara.[2] Bagian audio tersebut dikerjakan oleh dua profesi, yaitu penata suara dan penata musik. Penata Suara, sering disebut dengan Sound Designer/Supervisor bekerja dengan dibantu oleh Sound Recorder. Sound Designer bertugas menyunting suara dan menciptakan efek suara yang diciptakan dalam setiap adegan. Sedangkan Penata Musik, yang sering disebut Music Composer/Ilustrartor bertugas untuk menciptakan sebuah komposisi musik sebagai bagian dari penceritaan sebuah film.[3] Keduanya saling bahu membahu dalam menciptakan film scoring atau musik yang digunakan dalam sebuah film.
            Berbicara soal audio perfilman, musik dan film memang seakan tak bisa dipisahkan. Bahkan tidak sedikit film yang sangat dikenal, justru karena ilustrasi musiknya. Film seperti “Flashdance”, “Saturday Night Fever”, atau “Badai Pasti Berlalu” merupakan beberapa contoh film yang lebih diminati karena lagu dan ilustrasi musiknya yang enak didengar.[4]
            Harus diakui, musik dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi) manusia.[5] Dalam dunia perfilman, fungsi musik tidak lain adalah untuk mempertegas sebuah adegan agar lebih kuat maknanya. Bayangkan saja, ketika dalam sebuah film muncul adegan seorang wanita sedang menatap keluar jendela, banyak interpretasi tentangnya. Akan tetapi, ketika dibarengi dengan suara gesekan biola, dapat dipastikan bahwa adegan itu menggambarkan kesedihan si wanita. Jean Luc, seorang film director menyatakan “Sound is 60 percent of cinema.”[6]
Ada hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua suara yang ada dalam film, kecuali dialog, dikategorikan sebagai musik. Apabila musik dimaksudkan sekedar sebagai latar belakang, maka musik tersebut masuk dalam kategori elmen efek suara.[7] Misalnya, sebuah adegan di sebuah pesta perkwinan. Suara musik dalam pesta tersebut merupakan efek suara dan bukan musik.
            Di Indonesia dunia perfilman berkembang pesat. Film semakin mudah dijangkau bagi siapapun yang menggelutinya seiring dengan berkembangnya teknologi. Sayangnya, perfilman di Indonesia hanya menitikberatkan pada visual atau gambarnya saja. Audio (suara) masih dianggap belum penting dalam perfilman Indonesia. Padahal, audio membawa efek sinestisia (efek bius) yang lebih kuat dibandingkan dengan visual (gambar).
            Pesatnya perkembangan film Indonesia, bukan berarti menandakan tingginya kualitas musik film Indonesia. Music composing di Indonesia sendiri bisa dikatakan masih belum maksimal, terutama dalam music illustration (ilustrasi musik). Ada tiga foktor yang utama yang mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa sesungguhnya musik belum dianggap cukup penting oleh sebagian besar kalangan perfilman di Indonesia. Ketiga faktor tersebut dapat dilihat dari kecenderungan cara kerja para produser dan sutradara dalam memandang musik dalam karya-karya mereka, kecenderungan para penata musik dalam kerja film mereka, maupun posisi musik itu sendiri dalam film di Indonesia.[8]
            Penting tidaknya posisi musik dalam sebuah film, tidak cukup dikur dari ada dan tidaknya keikutsertaan musik dalam film tersebut. Akan tetapi, harus dilihat dari posisi dan bagaimana musik itu diletakkan dalam sebuah film. Dengan demikian, sebuah citra, Piala Citra Musik dalam Festival Film di Indonesia benar-benar mewakili etos kerja kreatif dunia musik perfilman di Indonesia.
            Dari 85 cerita panjang yang diikutsertakan dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2004, sebanyak 21 film sama sekali tidak menggunakan garapan “musik riil” yang khusus dibuat untuk film tersebut sebagai faktor penunjang. Artinya, para produser dan sutradara dari 21 film tersebut tidak menggunakan music composer dalam karya-karya mereka. Hal tersebut merupakan indikasi pertama bahwa musik belum dianggap penting oleh beberapa produser dan sutradara film di Indonesia.[9]
            Fakta tersebut menunjukkan masih adanya pandangan, bahwa seolah-olah musik untuk film dapat diambil dari bahan rekaman (stok recording). Hal tersebut merupakan warisan pandangan lama pada zama film bisu, dimana fungsi musik hanyalah sebagai ilustrasi gerak-gerak gambar yang tak bersuara. Pandangan yang menganggap bahwa musik sekedar ilustrasi yang dapat diambil dari rekaman musik umum (diskografi) dianggap sudah kuno.
            Sesungguhnya, prinsip musik film tidak berbeda dengan prinsip-prinsip fotografi, editing, dialog, dalam sebuah film yang bersifat sesaat (einmalig). Musik film tidak berdiri sendiri sebagaimana musik “murni”, tetapi terikat dan tergantung oleh banyak faktor dari unsur-unsur film lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan modern dunia perfilman, setiap film harus dibuatkan musik khusus. Tidak lain dikarena musik tidak lagi sebagai ilustrator, melainkan bagian integral dalam sebuah film.
             Pada umumnya, para penata musik Indonesia mengikuti arus musik yang populer di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah pemain band, para penulis lagu (song writer), dan para aranjer (arranger) atau penata musik. Kenyataan tersebut merupakan hal yang biasa dalam perfilman Indonesia. Berbeda dengan para sutradara, fotografer, penata suara, dan aktor maupun aktris yang memang benar-benar bekerja untuk sebuah film, para penata musik Indonesia bukanlah orang yang benar-benar mau masuk ke dalam dunia musik film dari dunia musik mereka yang sesungguhnya. Bisa dikatakan Indonesia hanya memiliki beberapa orang yang benar-benar bisa dikategorikan sabagai komponis musik untuk film, salah satunya adalah M. Sardi dan anaknya, Idris Sardi.
            Sejarah ilustrasi musik film, niscaya tidak akan ketinggalan menyebut nama M. Sardi. Ketika ditawari untuk menangani ilustrasi musik film “Alang-Alang”, kesempatan itu tidak disia-siakanya. M. Sardi menjadi musikus pertama Indonesia yang memilih profesi sebagai penata musik film pada tahun 1939.[10] Begitu juga dengan Idris Sardi, putra dari M. Sardi adalah pemegang rekor terbanyak dalam meraih “Citra” selama 20 kali FFI yang diselenggarakan tahun 1973-1992.[11] Idris Sardi dianggap sebagai komposer musik film bukan dilihat dari jumlah musik film yang pernah dikerjakannya. Akan tetapi, dilihat dari kualitas dan totalitas yang telah ia korbankan dalam menggeluti bidangnya.
            Dunia musik film merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengabdian sepenuhnya secara khusus. Pekerjaan untuk membuat musik film bukanlah pekerjaan sampingan yang dikerjakan setengah-setangah seperti dunia musik film Indonesia saat ini. Pembuatan musik film tidak mungkin maksimal apabila dibatasi oleh modal materi dan waktu. Akan tetapi, pada kenyataannya bahwa hanya tersedia alokasi waktu antara 3 sampai 10 hari dan dana antara 3 juta rupiah sampai 7 juta bagi seorang penata musik untuk mengerjakan karya filmnya.[12] Keterbatasan dana dan waktu tentu saja menghambat para penata musik untuk mengerjakan karyanya secara maksimal.
            Berbicara mengenai modal materi, pengambilan instrumentarium merupakan hal yang patut dibicarakan. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bahwa penata musik Indonesia meninggalkan instrumentarium akustik tradisional. Mereka lebih memilih menggunakan instrumentarium elektrik, baik yang bersifat manual maupun yang bersifat komputerisasi.
            Jika ditelaah lebih jauh, penggunaan insrumentarium elektrik akan mereduksi jumlah penata musik dalam menggunakan studio rekaman musik film.[13] Tidak hanya itu, jejak sejarah pembuatan karya musik film dengan instrumentarium tradisional yang telah dirintis oleh M. Sardi, juga akan hilang begitu saja. Walaupun demikian, masih ada beberapa nama seperti Thamam Husein, Dameria Hutabarat dan lain-lain yang mampu diharapkan dalam dunia musik film Indonesia.
            Seperti yang telah kita ketahui, bahwa dalam industri perfilman modern, film bukan lagi sebagai ilustrator belaka. Akan tetapi, musik menjadi bagian yang terintergrasi dalam sebuah film. Profesi penata musik di Indonesia harus direkonstruksi. Pemikiran mengenai musik film juga harus dikembangkan. Harus disadari bahwa sesungguhnya Indonesia kaya akan berbagai jenis musik dan instrumentarium daerah yang dapat dijadikan sumber inspirasi musik film yang akan melipatgandakan dua tiga kali efek gambar-gambar yang disajikan di atas layar. Dengan demikian, musik film Indonesia memiliki karakterisitik tersendiri yang mampu menciptakan emosi tertentu bagi penontonnya.
           
           
           
           



[1] Salim Said, 1991. Pantulan Layar Putih. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. h. 29.
[2] Heru Effendy. 2002. Mari Membuat Film: panduan menjadi produser. Jakarta: Panduan dan Pustaka Konfiden.h 93.
[3] http://old.rumahfilm.org/artikel/artikel_sounddesign.htm Diakses pada 27 Oktober 2012 pukul 23:30 WIB.
[4] Eddy D. Iskandar. 1987. Mengenal Perfilman Nasional. Bandung: CV Rosada. h. 71.
[5] Deddy Mulyana. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 25.
[6] Bryan McKernan. 2005. Digital Cinema: The Revolution ini Cinematography, Postproduction, and Distribution. New York: McGraw-Hill H 109.
[7] Eddy D. Iskandar, Op.Cit h. 95.
[8] Suka Harjana. 2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. h. 274.
[9] Ibid. h. 275.
[10] Eddy D. Iskandar.Op.Cit. h. 71-72.
[11] S.M. Ardan. 2004. Setengah Abad Festival Film Indonesia. Jakarta: Panitia Festival Film Indonesia 2004. h. 133-134.
[12] Suka Harjana. Op.Cit. h. 276.
[13] Ibid. h. 279-280.