Minggu, 05 Mei 2013

LAPORAN KUNJUNGAN STUDI KE LOKANANTA DAN MONUMEN PERS NASIONAL



Pada hari Kamis tanggal 2 Mei 2013 jurusan ilmu komunikasi UGM mengadakan kunjungan studi ke Lokananta dan Museum Pers Nasional. Kunjungan tersebut ditujukan untuk menunjang proses pembelajaran mata kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media Massa. Mahasiswa tidak hanya diajarkan materi di dalam kelas secara konseptual. Akan tetapi, mahasiswa diajak melihat secara langsung di lapangan secara kontekstual.
Lokananta dan Monumen Pers Nasional berada di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Dahulu, Solo dikenal dengan sebutan Surakarta Hadiningrat. Solo, yang terkenal dengan slogan “The Spirit of Java”, menjadi salah satu kota yang menjadi sumber atau pusat kebudayaan luhur yang menunjang kebudayaan nasional Indonesia. Di kota terdapat budaya klasik Selain untuk melakukan kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers Nasional, acara ini dapat menjadi salah satu momen untuk memperkenalkan salah satu kota kebudayaan terbesar kepada mahasiswa, khususnya yang berasal dari luar pulau Jawa.
Objek yang pertama dikunjungi rombongan adalah Lokananta. Setelah itu rombongan makan siang dan dilanjutkan kunjungan ke Monumen Pers Nasional. Dalam kunjungan tersebut mahasiswa diperkenalkan secara mendalam tentang Lokananta dan Museum Pers Nasional. Mulai dari sejarah berdirinya, perekembangannya, hingga peranannya di era sekarang. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan lebih terperinci masing-masing objek tersebut.
A.    LOKANANTA
Lokananta beralamat di Jalan Gajah Mada 29, Surakarta. Setibanya di Lokananta, rombongan di sambut oleh 4 orang pegawai Lokananta, yakni bapak Fendi (Ketua Pengurus Harian Lokananta), ibu Titik (Humas, Accounting, dan bagian administrasi lainnya), bapak Andy (koordinator studio, recording engineer), serta pak Beby (pengurus lagu-lagu Lokananta, termasuk pengurus piring hitam).
Lokananta didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956. Diresmikan oleh Menteri Penerangan R.I Soedibjo dengan nama Pabrik Piring Hitam Lokananta. Pada saat itu, Lokananta berstatus Dinas Transkripsi sebagai bagian Jawatan Radio Republik Indonesia di Surakarta. Berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia mulai 1 April 1959 hasil piringan hitam selain untuk kebutuhan Transcription siaran RRI diperkenakan juga untuk dijual kepada umum (Komersial). Status Lokananta kemudian diubah dai Jawatan menjadi Perusahaan Negara berdasar pada Peraturan Pemerintah No. 215 tahun 1961.
Nama Lokananta sendiri diambil dari cerita Legendaris dalam pewayangan. Lokananta adalah seperangkat Gamelam dari Suralaya, istana dewa-dewa di khayangan. Konon ceritanya gamelan Lokananta dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Diawal beridrinya, Lokananta meproduksi jenis-jenis rekaman musik orkes keroncong dan alat musik Jawa. Sebagai pelopor industri rekaman di Indonesia, Lokananta berhasil menghasilkan seniman-seniman besar seperti Gesang, Waldjinah, Titik Poespa, Bing Slamet, Sam Saimun, dalang Ki Narto Sabdo, pelawak Basyo, dan seniman lainnya .
Dalam perkembangannya, Lokananta pun mengalami pasang surut. Pada tahun 1990, Lokananta mengalami kelumpuhan. Hal itu dikarenakan maraknya pembajakan dan juga lahirnya industri-industri rekaman yang baru, seperti Sony, Aquarius, Trinity, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998-2000, pemasaran dihentikan. Kegiatan yang dilakukan di tahun itu hanyalah menjaga aset-aset yang dimiliki Lokananta. Sampai pada akhirnya di tahun 2001, Lokananta mengalami pailit dan dibubarkan. Pada tahun 2004 Lokananta bergabung dengan perum PNRI cabang Surakarta.
Tidak tersedianya dana khusus untuk Lokananta dari pemerintah turut menghambat kelangsungan hidup Lokananta. Salah satu cara yang ditempuh untuk mempertahankan Lokananta adalah dengan menyewakan lahan-lahan kosong di sekitar Lokananta yang digunakan untuk berdagang dan membuka lapangan futsal. Di pertengahan tahun 2012, sejumlah kelompok anak muda yang bergiat dalam gelaran subkultural, berusaha menghidupkan kembali cikal bakal industri musik di Indonesia itu.
Pada tanggal 30 November sampai 1 Desember 2012 diadakan Festival Lokananta yang digelar di Lokananta. Festival tersebut mengedepankan aspek musik dalam bermacam kemasan dengan dua panggung yang menampilkan artis nasional dari beragam genre. Festival tersebut merupakan kerjasama antara panitia penyelenggara dengan Perum Perum PNRI Cabang Lokananta Surakarta.
Hal tersebut berhasil menggugah para insan musik Indonesia melihat kondisi Lokananta saat ini. Baik musisi nasional, sperti Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, serta musisi indie regional Yogyakarta-Solo melakukan sesi rekaman di Lokananta. Momen tersebut merupakan awal kebangkitan Lokananta.
Tak hanya itu, acara-acara yang berkaitan dengan Lokananta mulai disiarkan di TV swasta. Lokananta pun perlahan mulai dikenal masyarakat Indonesia. Berbagai kunjungan ke Lokananta mengalami peningkatan.
Walaupun Lokananta berkembang ke ranah musik modern, Lokananta tetap melestarikan budaya derah. Hal itu dilakukan Lokananta dengan cara bekerjasama dengan Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang dalam menciptakan gamelan touch screen yang disebut dengan e-gamelan. Usaha tersebut diharapkan mampu memperkenalkan kaum muda agar tertarik untuk mengenal dan melestarikan musik gamelan yang diiringi dengan teknologi yang sedang berkembang sehingga kesan kuno yang melekat pada image musik gamelan tidak lagi dirasakan oleh kaum muda.

B.     MONUMEN PERS NASIONAL
Museum Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada 59 Surakarta. Setibanya di lokasi, romobongan disambut oleh 2 pegawai. Setelah perkenalan singkat mengenai museum ini, rombongan dipersilakan untuk menyaksikan video profil museum pers nasional. Seperti halnya dengan Lokananta, Monumen ini juga melewati sejarah yang cukup panjang. Gedung monumen ini menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa di masa lalu.
 Di gedung yang dulu pernah menjadi Markas Besar Palang Merah Indonesia ini, pernah diadakan konferensi Wartawan Pejuang Kemerdekan Indonesia yang kemudian melahirkan organisasi profesi kewartawanan pertama, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang terbentuk pada 9 Februari 1946.
Pada peringatan dasawarasa PWI 9 Februari 1956, tercetuslah suatu gagasan mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia. Kemudian pada kongres Palembang pada tahun 1970 tercetuslah ide mendirikan “Museum Pers Nasional”. Dalam peringatan seperempat abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiardjo, menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Surakarta dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional yang dicetuskan di Palembang diubah menjadi menjadi Monumen Pers Nasional atas usul PWI cabang Surakarta.
Pada tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soeharto meresmikan gedung societit Sasana Soeaka (nama gedung pada awalnya) menjadi Monumen Pers Nasional dengan penandatanganan prastasi. Setelah mengalami perubahan status beberapa kali, mulai tanggal 16 Maret 2011 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatikan Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Dengan didirikannya Monumen Pers Nasional ini diharapkan dapat mewujudkan pusat rujukan dokumentasi pers nasional berbasis teknologi informasi. Untuk mewujudkannya, Monumen Pers Nasional berusaha untuk mendokumentasi, megkonservasi, bukti terbit media dan benda bersejarah lingkup pers dari seluruh Indonesia sejak sebelum proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Hal itu dilakukan dengan cara menjilidkan dan mendigitalisasikan koleksi media cetak.
Selain itu, Monumen Pers Nasional juga mengkomunikasikan dokumen dan koleksi pers nasional yang bernilai sejarah kepada khalayak umum untuk menunjang pembangunan jiwa dan kepribadian bangsa. Koleksi-koleksi bersejarah yang terdapat di monumen ini antara lain diorama perkembangan pers Indonesia (dimulai sejak era pra sejarah, era penjajahan Belanda, era penjajahan Jepang, era awal kemerdekaan, era Orde Baru, dan era reformasi),  microfilm, peralatan dan perlengkapan bertugas wartawan, portable mixer, pemancar radio kambing, kenthongan kyai swara gugah, kamera kuno, koleksi Bali Post, koleksi etnografi daerah Maluku, telephone antarstasiun, dan berbagai macam mesin ketik kuno.
Satu hal yang juga penting dari Monumen Pers Nasional adalah mewujudkan obyek kunjungan wisata ilmiah bidang pers dan menjadi agen diseminasi informasi serta sebagai media literasi bagi masyarakat. Tersedianya dokumen pers yang bersejarah, menjadikan Monumen Pers Nasional memiliki daya tarik tersendiri bagi peneliti, mahasiswa, pelajar untuk berkunjung baik untuk tujuan melihat-lihat koleksi sampai dengan riset ilmiah. Layanan gratis yang tersedia di sini pun bermacam-macam, seperti media center, papan baca, perpustakaan, mobil layanan internet, pameran yang dilakukan secara teratur, dan seminar yang terkait dengan pers, komunikasi, dan informasi.
                              Secara umum kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers Nasional memberikan manfaat bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami sejarah komunikasi dan media massa. Selain sejarah, mahasiswa juga mengenali masalah-masalah yang ada pada perkembangan komunikasi dan media massa. Sebagai contoh, masalah status pegawai Lokananta, sumber dana Lokananta, ide pendirian museum musik di Indonesia di Solo, hingga kerugian pembajakan. Mahasiswa sebagai agen perubahan yang diharapkan mampu memecahkan masalah, haruslah peduli dengan hal tersebut. Dalam hal ini, mahasiswa ilmu komunikasi UGM haruslah kritis dan tergerak untuk turun tangan dalam menangani masalah tersebut ataupun masalah –masalah lain yang ada.          Jika UDINUS sudah diajak bekerjasama untuk mengembangkan e-gamelan, barangkali mahasiswa ilmu Komunikasi UGM bisa dilirik Lokananta untuk bekerjasama dalam hal pemasaran, misalnya.
            Lokananta dan Museum Pers Nasional menyimpan salah satu sejarah besar bangsa ini. Oleh karenanya, Kedua objek tersebut perlu dikenal secara nasional dan internasional. Harapannya pemerintah peduli dan mengambil tindakan untuk mempromosikannya. Berbagai cara bisa dilakukan, salah satunya adalah dengan menyertakan Lokananta dan Museum Pers Nasional dalam program wisata, seperti Visit Java, Visit Indonesia, dan program wisata lainnya.