Pada
hari Kamis tanggal 2 Mei 2013 jurusan ilmu komunikasi UGM mengadakan kunjungan
studi ke Lokananta dan Museum Pers Nasional. Kunjungan tersebut ditujukan untuk
menunjang proses pembelajaran mata kuliah Sejarah Ilmu Komunikasi dan Media
Massa. Mahasiswa tidak hanya diajarkan materi di dalam kelas secara konseptual.
Akan tetapi, mahasiswa diajak melihat secara langsung di lapangan secara
kontekstual.
Lokananta
dan Monumen Pers Nasional berada di Solo, Jawa Tengah, Indonesia. Dahulu, Solo
dikenal dengan sebutan Surakarta Hadiningrat. Solo, yang terkenal dengan slogan
“The Spirit of Java”, menjadi salah satu kota yang menjadi sumber atau pusat
kebudayaan luhur yang menunjang kebudayaan nasional Indonesia. Di kota terdapat
budaya klasik Selain untuk melakukan kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers
Nasional, acara ini dapat menjadi salah satu momen untuk memperkenalkan salah
satu kota kebudayaan terbesar kepada mahasiswa, khususnya yang berasal dari
luar pulau Jawa.
Objek
yang pertama dikunjungi rombongan adalah Lokananta. Setelah itu rombongan makan
siang dan dilanjutkan kunjungan ke Monumen Pers Nasional. Dalam kunjungan
tersebut mahasiswa diperkenalkan secara mendalam tentang Lokananta dan Museum
Pers Nasional. Mulai dari sejarah berdirinya, perekembangannya, hingga
peranannya di era sekarang. Dalam tulisan ini, akan dijelaskan lebih terperinci
masing-masing objek tersebut.
A. LOKANANTA
Lokananta
beralamat di Jalan Gajah Mada 29, Surakarta. Setibanya di Lokananta, rombongan
di sambut oleh 4 orang pegawai Lokananta, yakni bapak Fendi (Ketua Pengurus
Harian Lokananta), ibu Titik (Humas, Accounting, dan bagian administrasi
lainnya), bapak Andy (koordinator studio,
recording engineer), serta pak Beby (pengurus lagu-lagu Lokananta, termasuk
pengurus piring hitam).
Lokananta
didirikan pada tanggal 29 Oktober 1956. Diresmikan oleh Menteri Penerangan R.I
Soedibjo dengan nama Pabrik Piring Hitam Lokananta. Pada saat itu, Lokananta
berstatus Dinas Transkripsi sebagai bagian Jawatan Radio Republik Indonesia di
Surakarta. Berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia mulai 1
April 1959 hasil piringan hitam selain untuk kebutuhan Transcription siaran RRI
diperkenakan juga untuk dijual kepada umum (Komersial). Status Lokananta
kemudian diubah dai Jawatan menjadi Perusahaan Negara berdasar pada Peraturan
Pemerintah No. 215 tahun 1961.
Nama
Lokananta sendiri diambil dari cerita Legendaris dalam pewayangan. Lokananta
adalah seperangkat Gamelam dari Suralaya, istana dewa-dewa di khayangan. Konon ceritanya
gamelan Lokananta dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Diawal
beridrinya, Lokananta meproduksi jenis-jenis rekaman musik orkes keroncong dan
alat musik Jawa. Sebagai pelopor industri rekaman di Indonesia, Lokananta
berhasil menghasilkan seniman-seniman besar seperti Gesang, Waldjinah, Titik
Poespa, Bing Slamet, Sam Saimun, dalang
Ki Narto Sabdo, pelawak Basyo, dan seniman
lainnya .
Dalam
perkembangannya, Lokananta pun mengalami pasang surut. Pada tahun 1990,
Lokananta mengalami kelumpuhan. Hal itu dikarenakan maraknya pembajakan dan
juga lahirnya industri-industri rekaman yang baru, seperti Sony, Aquarius,
Trinity, dan lain sebagainya. Pada tahun 1998-2000, pemasaran dihentikan. Kegiatan
yang dilakukan di tahun itu hanyalah menjaga aset-aset yang dimiliki Lokananta.
Sampai pada akhirnya di tahun 2001, Lokananta mengalami pailit dan dibubarkan. Pada
tahun 2004 Lokananta bergabung dengan perum PNRI cabang Surakarta.
Tidak
tersedianya dana khusus untuk Lokananta dari pemerintah turut menghambat
kelangsungan hidup Lokananta. Salah satu cara yang ditempuh untuk
mempertahankan Lokananta adalah dengan menyewakan lahan-lahan kosong di sekitar
Lokananta yang digunakan untuk berdagang dan membuka lapangan futsal. Di
pertengahan tahun 2012, sejumlah kelompok anak
muda yang bergiat dalam gelaran subkultural, berusaha menghidupkan kembali
cikal bakal industri musik di Indonesia itu.
Pada tanggal 30 November
sampai 1 Desember 2012 diadakan Festival Lokananta yang digelar di Lokananta. Festival
tersebut mengedepankan aspek musik dalam bermacam kemasan dengan dua panggung yang
menampilkan artis nasional dari beragam genre. Festival tersebut
merupakan kerjasama antara panitia penyelenggara dengan Perum Perum PNRI Cabang
Lokananta Surakarta.
Hal tersebut berhasil menggugah para insan musik Indonesia melihat
kondisi Lokananta saat ini. Baik musisi nasional, sperti Glenn Fredly, Efek Rumah
Kaca, serta musisi indie regional Yogyakarta-Solo melakukan sesi rekaman di
Lokananta. Momen tersebut merupakan awal kebangkitan Lokananta.
Tak hanya itu, acara-acara yang berkaitan dengan Lokananta mulai
disiarkan di TV swasta. Lokananta pun perlahan mulai dikenal masyarakat
Indonesia. Berbagai kunjungan ke Lokananta mengalami peningkatan.
Walaupun Lokananta berkembang ke ranah musik modern, Lokananta tetap
melestarikan budaya derah. Hal itu dilakukan Lokananta dengan cara bekerjasama
dengan Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) Semarang dalam menciptakan gamelan touch screen yang disebut dengan e-gamelan. Usaha tersebut diharapkan mampu
memperkenalkan kaum muda agar tertarik untuk mengenal dan melestarikan musik gamelan
yang diiringi dengan teknologi yang sedang berkembang sehingga kesan kuno yang
melekat pada image musik gamelan tidak lagi dirasakan oleh kaum muda.
B. MONUMEN
PERS NASIONAL
Museum
Pers Nasional terletak di Jalan Gajah Mada 59 Surakarta. Setibanya di lokasi,
romobongan disambut oleh 2 pegawai. Setelah perkenalan singkat mengenai museum
ini, rombongan dipersilakan untuk menyaksikan video profil museum pers
nasional. Seperti halnya dengan Lokananta, Monumen ini juga melewati sejarah yang
cukup panjang. Gedung monumen ini menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa di
masa lalu.
Di gedung yang dulu pernah menjadi Markas
Besar Palang Merah Indonesia ini, pernah diadakan konferensi Wartawan Pejuang
Kemerdekan Indonesia yang kemudian melahirkan organisasi profesi kewartawanan
pertama, yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang terbentuk pada 9
Februari 1946.
Pada
peringatan dasawarasa PWI 9 Februari 1956, tercetuslah suatu gagasan mendirikan
Yayasan Museum Pers Indonesia. Kemudian pada kongres Palembang pada tahun 1970
tercetuslah ide mendirikan “Museum Pers Nasional”. Dalam peringatan seperempat
abad PWI, 9 Februari 1971 Menteri Penerangan Budiardjo, menyatakan pendirian
Museum Pers Nasional di Surakarta dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama
Museum Pers Nasional yang dicetuskan di Palembang diubah menjadi menjadi
Monumen Pers Nasional atas usul PWI cabang Surakarta.
Pada
tanggal 9 Februari 1978, Presiden Soeharto meresmikan gedung societit Sasana
Soeaka (nama gedung pada awalnya) menjadi Monumen Pers Nasional dengan
penandatanganan prastasi. Setelah mengalami perubahan status beberapa kali,
mulai tanggal 16 Maret 2011 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatikan Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi
Publik Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Dengan
didirikannya Monumen Pers Nasional ini diharapkan dapat mewujudkan pusat
rujukan dokumentasi pers nasional berbasis teknologi informasi. Untuk mewujudkannya,
Monumen Pers Nasional berusaha untuk mendokumentasi, megkonservasi, bukti
terbit media dan benda bersejarah lingkup pers dari seluruh Indonesia sejak
sebelum proklamasi kemerdekaan hingga saat ini. Hal itu dilakukan dengan cara
menjilidkan dan mendigitalisasikan koleksi media cetak.
Selain
itu, Monumen Pers Nasional juga mengkomunikasikan dokumen dan koleksi pers
nasional yang bernilai sejarah kepada khalayak umum untuk menunjang pembangunan
jiwa dan kepribadian bangsa. Koleksi-koleksi bersejarah yang terdapat di
monumen ini antara lain diorama perkembangan pers Indonesia (dimulai sejak era
pra sejarah, era penjajahan Belanda, era penjajahan Jepang, era awal
kemerdekaan, era Orde Baru, dan era reformasi),
microfilm, peralatan dan
perlengkapan bertugas wartawan, portable
mixer, pemancar radio kambing, kenthongan
kyai swara gugah, kamera kuno, koleksi Bali
Post, koleksi etnografi daerah Maluku, telephone antarstasiun, dan berbagai
macam mesin ketik kuno.
Satu
hal yang juga penting dari Monumen Pers Nasional adalah mewujudkan obyek
kunjungan wisata ilmiah bidang pers dan menjadi agen diseminasi informasi serta
sebagai media literasi bagi masyarakat. Tersedianya dokumen pers yang
bersejarah, menjadikan Monumen Pers Nasional memiliki daya tarik tersendiri
bagi peneliti, mahasiswa, pelajar untuk berkunjung baik untuk tujuan
melihat-lihat koleksi sampai dengan riset ilmiah. Layanan gratis yang tersedia
di sini pun bermacam-macam, seperti media center, papan baca, perpustakaan, mobil
layanan internet, pameran yang dilakukan secara teratur, dan seminar yang
terkait dengan pers, komunikasi, dan informasi.
Secara umum
kunjungan ke Lokananta dan Museum Pers Nasional memberikan manfaat bagi
mahasiswa Ilmu Komunikasi dalam memahami sejarah komunikasi dan media massa. Selain
sejarah, mahasiswa juga mengenali masalah-masalah yang ada pada perkembangan
komunikasi dan media massa. Sebagai contoh, masalah status pegawai Lokananta,
sumber dana Lokananta, ide pendirian museum musik di Indonesia di Solo, hingga
kerugian pembajakan. Mahasiswa sebagai agen perubahan yang diharapkan mampu
memecahkan masalah, haruslah peduli dengan hal tersebut. Dalam hal ini,
mahasiswa ilmu komunikasi UGM haruslah kritis dan tergerak untuk turun tangan
dalam menangani masalah tersebut ataupun masalah –masalah lain yang ada. Jika UDINUS sudah diajak bekerjasama
untuk mengembangkan e-gamelan,
barangkali mahasiswa ilmu Komunikasi UGM bisa dilirik Lokananta untuk
bekerjasama dalam hal pemasaran, misalnya.
Lokananta dan Museum Pers Nasional
menyimpan salah satu sejarah besar bangsa ini. Oleh karenanya, Kedua objek
tersebut perlu dikenal secara nasional dan internasional. Harapannya pemerintah
peduli dan mengambil tindakan untuk mempromosikannya. Berbagai cara bisa
dilakukan, salah satunya adalah dengan menyertakan Lokananta dan Museum Pers Nasional
dalam program wisata, seperti Visit Java, Visit Indonesia, dan program wisata
lainnya.