Sebagian besar masyarakat Indonesia
memilih menonton film sebagai hobi mereka. Mulai dari film pendek maupun film
panjang (film besar). Dalam kehidupan sehari-hari film dijadikan sebagai media
hiburan, edukasi, maupun penelitian. Fim sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
Salah satu kelemahan hobi menonton
film dari masayarakat Indonesia adalah tidak semua orang tahu bahwa membuat
film adalah sebuah proses yang sangat panjang. Dalam proses tersebut, tidak
hanya aktor dan aktris saja yang terlibat. Biasanya orang hanya mengetahui nama
sutradara sebuah film. Padahal sesungguhnya film adalah karya bersama, artinya,
dalam proses pembuatan film, sutradara memang pemimpin dari suatu kelompok yang
terdiri dari berbagai seniman dan teknisi. Akan tetapi, dalam proses kerja
sutradara tidak bisa menghindar dari mengakomodasikan sumbangan berbagai pihak. Mereka bekerjasama untuk mencapai
kesuksesan sebuah film dilihat dari berbagai segi.
Film
adalah sebuah karya seni serta media komunikasi yang memiliki banyak parameter.
Indikator untuk menentukan kesuksesan dan keberhasilan film tidak hanya
terletak pada hal yang terlihat di layar kaca. Berbagai indikator yang tak
terlihat di layar kaca pun turut serta menentukan berhasil dan atau sukses
tidaknya sebuah film.
Dibandingkan dengan media yang lain,
film menjadi media yang paling berpengaruh. Hal tersebut dikarenakan audio dan
visual bekerjasama dengan baik dalam film. Film menjadi media yang mudah
diingat dan tidak membosankan.
Disamping visual (gambar), audio
(sura) merupakan komponen yang penting dalam film. Audio dalam film dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bagian, yakni audio dialog, audio musik, dan audio efek suara. Bagian
audio tersebut dikerjakan oleh dua profesi, yaitu penata suara dan penata
musik. Penata Suara, sering disebut dengan Sound
Designer/Supervisor bekerja dengan dibantu oleh Sound Recorder. Sound
Designer bertugas menyunting suara dan menciptakan efek suara yang
diciptakan dalam setiap adegan. Sedangkan Penata Musik, yang sering disebut Music Composer/Ilustrartor bertugas
untuk menciptakan sebuah komposisi musik sebagai bagian dari penceritaan sebuah
film.
Keduanya saling bahu membahu dalam menciptakan film scoring atau musik yang digunakan dalam sebuah film.
Berbicara soal audio perfilman, musik
dan film memang seakan tak bisa dipisahkan. Bahkan tidak sedikit film yang
sangat dikenal, justru karena ilustrasi musiknya. Film seperti “Flashdance”, “Saturday Night Fever”, atau “Badai
Pasti Berlalu” merupakan beberapa contoh film yang lebih diminati karena
lagu dan ilustrasi musiknya yang enak didengar.
Harus diakui, musik dapat
mengekspresikan perasaan, kesadaran, dan bahkan pandangan hidup (ideologi)
manusia.
Dalam dunia perfilman, fungsi musik tidak lain adalah untuk mempertegas sebuah adegan
agar lebih kuat maknanya. Bayangkan saja, ketika dalam sebuah film muncul
adegan seorang wanita sedang menatap keluar jendela, banyak interpretasi
tentangnya. Akan tetapi, ketika dibarengi dengan suara gesekan biola, dapat
dipastikan bahwa adegan itu menggambarkan kesedihan si wanita. Jean Luc,
seorang film director menyatakan
“Sound is 60 percent of cinema.”
Ada
hal yang perlu diketahui bahwa tidak semua suara yang ada dalam film, kecuali
dialog, dikategorikan sebagai musik. Apabila musik dimaksudkan sekedar sebagai
latar belakang, maka musik tersebut masuk dalam kategori elmen efek suara.
Misalnya, sebuah adegan di sebuah pesta perkwinan. Suara musik dalam pesta
tersebut merupakan efek suara dan bukan musik.
Di Indonesia dunia perfilman
berkembang pesat. Film semakin mudah dijangkau bagi siapapun yang menggelutinya
seiring dengan berkembangnya teknologi. Sayangnya, perfilman di Indonesia hanya
menitikberatkan pada visual atau
gambarnya saja. Audio (suara) masih
dianggap belum penting dalam perfilman Indonesia. Padahal, audio membawa efek sinestisia
(efek bius) yang lebih kuat dibandingkan dengan visual (gambar).
Pesatnya
perkembangan film Indonesia, bukan berarti menandakan tingginya kualitas musik
film Indonesia. Music composing di
Indonesia sendiri bisa dikatakan masih belum maksimal, terutama dalam music illustration (ilustrasi musik).
Ada tiga foktor yang utama yang mengindikasikan adanya kecenderungan bahwa
sesungguhnya musik belum dianggap cukup penting oleh sebagian besar kalangan
perfilman di Indonesia. Ketiga faktor tersebut dapat dilihat dari kecenderungan
cara kerja para produser dan sutradara dalam memandang musik dalam karya-karya
mereka, kecenderungan para penata musik dalam kerja film mereka, maupun posisi
musik itu sendiri dalam film di Indonesia.
Penting
tidaknya posisi musik dalam sebuah film, tidak cukup dikur dari ada dan
tidaknya keikutsertaan musik dalam film tersebut. Akan tetapi, harus dilihat
dari posisi dan bagaimana musik itu diletakkan dalam sebuah film. Dengan
demikian, sebuah citra, Piala Citra Musik dalam Festival Film di Indonesia
benar-benar mewakili etos kerja kreatif dunia musik perfilman di Indonesia.
Dari
85 cerita panjang yang diikutsertakan dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun
2004, sebanyak 21 film sama sekali tidak menggunakan garapan “musik riil” yang
khusus dibuat untuk film tersebut sebagai faktor penunjang. Artinya, para
produser dan sutradara dari 21 film tersebut tidak menggunakan music composer dalam karya-karya mereka.
Hal tersebut merupakan indikasi pertama bahwa musik belum dianggap penting oleh
beberapa produser dan sutradara film di Indonesia.
Fakta
tersebut menunjukkan masih adanya pandangan, bahwa seolah-olah musik untuk film
dapat diambil dari bahan rekaman (stok recording). Hal tersebut merupakan
warisan pandangan lama pada zama film bisu, dimana fungsi musik hanyalah
sebagai ilustrasi gerak-gerak gambar yang tak bersuara. Pandangan yang
menganggap bahwa musik sekedar ilustrasi yang dapat diambil dari rekaman musik
umum (diskografi) dianggap sudah kuno.
Sesungguhnya,
prinsip musik film tidak berbeda dengan prinsip-prinsip fotografi, editing,
dialog, dalam sebuah film yang bersifat sesaat (einmalig). Musik film tidak
berdiri sendiri sebagaimana musik “murni”, tetapi terikat dan tergantung oleh
banyak faktor dari unsur-unsur film lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan
modern dunia perfilman, setiap film harus dibuatkan musik khusus. Tidak lain
dikarena musik tidak lagi sebagai ilustrator, melainkan bagian integral dalam
sebuah film.
Pada umumnya, para penata musik Indonesia mengikuti
arus musik yang populer di Indonesia. Sebagian dari mereka adalah pemain band,
para penulis lagu (song writer), dan para aranjer (arranger) atau penata musik.
Kenyataan tersebut merupakan hal yang biasa dalam perfilman Indonesia. Berbeda
dengan para sutradara, fotografer, penata suara, dan aktor maupun aktris yang
memang benar-benar bekerja untuk sebuah film, para penata musik Indonesia
bukanlah orang yang benar-benar mau masuk ke dalam dunia musik film dari dunia
musik mereka yang sesungguhnya. Bisa dikatakan Indonesia hanya memiliki
beberapa orang yang benar-benar bisa dikategorikan sabagai komponis musik untuk
film, salah satunya adalah M. Sardi dan anaknya, Idris Sardi.
Sejarah
ilustrasi musik film, niscaya tidak akan ketinggalan menyebut nama M. Sardi.
Ketika ditawari untuk menangani ilustrasi musik film “Alang-Alang”, kesempatan
itu tidak disia-siakanya. M. Sardi menjadi musikus pertama Indonesia yang
memilih profesi sebagai penata musik film pada tahun 1939.
Begitu juga dengan Idris Sardi, putra dari M. Sardi adalah pemegang rekor
terbanyak dalam meraih “Citra” selama 20 kali FFI yang diselenggarakan tahun
1973-1992. Idris Sardi dianggap
sebagai komposer musik film bukan dilihat dari jumlah musik film yang pernah
dikerjakannya. Akan tetapi, dilihat dari kualitas dan totalitas yang telah ia
korbankan dalam menggeluti bidangnya.
Dunia
musik film merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pengabdian sepenuhnya secara
khusus. Pekerjaan untuk membuat musik film bukanlah pekerjaan sampingan yang
dikerjakan setengah-setangah seperti dunia musik film Indonesia saat ini.
Pembuatan musik film tidak mungkin maksimal apabila dibatasi oleh modal materi
dan waktu. Akan tetapi, pada kenyataannya bahwa hanya tersedia alokasi waktu
antara 3 sampai 10 hari dan dana antara 3 juta rupiah sampai 7 juta bagi
seorang penata musik untuk mengerjakan karya filmnya.
Keterbatasan dana dan waktu tentu saja menghambat para penata musik untuk
mengerjakan karyanya secara maksimal.
Berbicara
mengenai modal materi, pengambilan instrumentarium merupakan hal yang patut
dibicarakan. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bahwa penata musik Indonesia
meninggalkan instrumentarium akustik tradisional. Mereka lebih memilih
menggunakan instrumentarium elektrik, baik yang bersifat manual maupun yang
bersifat komputerisasi.
Jika
ditelaah lebih jauh, penggunaan insrumentarium elektrik akan mereduksi jumlah
penata musik dalam menggunakan studio rekaman musik film.
Tidak hanya itu, jejak sejarah pembuatan karya musik film dengan
instrumentarium tradisional yang telah dirintis oleh M. Sardi, juga akan hilang
begitu saja. Walaupun demikian, masih ada beberapa nama seperti Thamam Husein,
Dameria Hutabarat dan lain-lain yang mampu diharapkan dalam dunia musik film
Indonesia.
Seperti
yang telah kita ketahui, bahwa dalam industri perfilman modern, film bukan lagi
sebagai ilustrator belaka. Akan tetapi, musik menjadi bagian yang terintergrasi
dalam sebuah film. Profesi penata musik di Indonesia harus direkonstruksi.
Pemikiran mengenai musik film juga harus dikembangkan. Harus disadari bahwa
sesungguhnya Indonesia kaya akan berbagai jenis musik dan instrumentarium
daerah yang dapat dijadikan sumber inspirasi musik film yang akan
melipatgandakan dua tiga kali efek gambar-gambar yang disajikan di atas layar.
Dengan demikian, musik film Indonesia memiliki karakterisitik tersendiri yang
mampu menciptakan emosi tertentu bagi penontonnya.
Eddy D.
Iskandar. 1987. Mengenal Perfilman
Nasional. Bandung: CV Rosada. h. 71.
Deddy Mulyana.
2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosdakarya. h. 25.
Bryan McKernan.
2005. Digital Cinema: The Revolution ini
Cinematography, Postproduction, and Distribution. New York: McGraw-Hill H
109.
Suka Harjana.
2004. Musik: Antara Kritik dan Apresiasi.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. h. 274.
Suka Harjana. Op.Cit. h. 276.